Menu

Selasa, 23 Juli 2013

Per 1 Juli 2013, UMKM dikenai PPh bersifat Final

Tertanggal 13 Juni 2013, Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini ditujukan agar para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dapat dengan mudah menghitung pajak atas usaha mereka. PP ini berlaku mulai tanggal 1 Juli 2013.


Dalam ulasan berikut, Pajak yang berlaku atas PP No.46 Tahun 2013, kami sebut sebagai Pajak UMKM. Berikut adalah ulasan mengenai peraturan tersebut.


Penghasilan apa saja yang dikenai Pajak UMKM?

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki omset bruto tertentu, dikenai Pajak UMKM.

Jumlah omset bruto tertentu tersebut ditentukan berdasarkan omset bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk omset bruto dari: :
  • jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
  • usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri
  • penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak

Catatan tambahan.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana disebutkan di atas meliputi :
  • tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  • pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  • olahragawan;
  • penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  • pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  • agen iklan;
  • pengawas atau pengelola proyek;
  • perantara;
  • petugas penjaja barang dagangan;
  • agen asuransi; dan
  • distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.


Wajib Pajak mana yang menerapkan Pajak UMKM?

Wajib Pajak yang memiliki omset bruto tertentu yang memenuhi kriteria berikut :
  • Merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dan Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan
  • Menerima penghasilan dari usaha (tidak termasuk jasa sehubungan pekerjaan bebas), dengan omset bruto tidak melebihi Rp 4.8 Miliar dalam 1 (satu) tahun pajak.


Apakah terdapat pengecualian penerapan Pajak UMKM atas Wajib Pajak yang memenuhi kriteria omset bruto tertentu?

WPOP yang memenuhi kriteria omset bruto tertentu tetapi dikecualikan dari penerapan Pajak UMKM adalah WPOP yang melakukan kegiatan usaha yang dalam usahanya :
  • Menggunakan sarana dan prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap atau pun tidak menetap, misalnya pedagang makanan keliling dan pedagang asongan.
  • Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan. Misalnya warung tenda di trotoar.
WP Badan yang memenuhi kriteria omset bruto tertentu tetapi dikecualikan dari penerapan Pajak UMKM adalah :
  • WP Badan yang belum beroperasi secara komersial.
  • WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial, memperoleh omset bruto melebihi Rp 4.8 Miliar.


Berapa tarif Pajak UMKM?

Besarnya tarif Pajak UMKM adalah 1% dari omset bruto setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha. Pajak UMKM ini bersifat final.

Contoh:
CV A memperoleh omset bruto senilai Rp 300.000.000 pada bulan Juli 2013, maka Pajak UMKM yang harus dibayar oleh CV A untuk bulan Juli 2013 adalah Rp 3.000.000 (Rp 300.000.000 x 1%).


Bagaimana prosedur pembayaran Pajak UMKM dan kapan batas waktu pembayarannya?

Wajib Pajak menyetor Pajak UMKM ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP), yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


Dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 ditambahkan Kode Akun Pajak (KAP) nomor 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) nomor 420 untuk melakukan penyetoran PPh Final Pasal 4 Ayat 2 atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.


Bagaimana prosedur pelaporan Pajak UMKM dan kapan batas waktu pelaporannya?

Khusus masa pajak Juli sampai Desember 2013, pelaporan Pajak UMKM tidak diperlukan. WP yang telah melakukan penyetoran Pajak UMKM, dianggap telah melaporkan Pajak UMKM sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada SSP.

WP yang telah melakukan pembayaran Pajak UMKM, wajib melaporkan Pajak UMKM paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Pelaporan Pajak UMKM ini dilakukan efektif mulai masa pajak Januari 2014.

WP dengan jumlah Pajak UMKM nihil tidak wajib melaporkan Pajak UMKM.

Ketentuan mengenai pelaporan Pajak UMKM akan dijelaskan dalam materi "Pelaporan Pajak UMKM".


Bagaimana penentuan omset bruto sebagai patokan bagi WP untuk menerapkan Pajak UMKM?

Penerapan didasarkan pada omset bruto dari usaha dalam satu tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
  • Apabila omset bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun pajak terakhir kurang dari Rp 4.8 Miliar, maka WP menerapkan Pajak UMKM untuk menghitung pajak dari usahanya pada tahun yang bersangkutan.
  • Apabila omset bruto dari usaha dalam satu tahun pajak terakhir lebih dari Rp 4.8 Miliar, maka WP menerapkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) untuk menghitung pajak dari usahanya pada tahun yang bersangkutan.
 Contoh:
Pak Budi memulai usaha minimarket pada bulan April 2010. Pada hari ini, tanggal 31 Januari 2014, Pak Budi ingin menentukan apakah bulan Januari sampai Desember 2014, beliau menerapkan Pajak UMKM atau ketentuan UU PPh. Omset bruto dari minimarket Pak Budi dari bulan Januari sampai Desember 2013 (satu tahun pajak), berjumlah Rp 4.6 Miliar. Maka dari bulan Januari sampai Desember 2014, Pak Budi akan menerapkan Pajak UMKM.
Setelah tutup buku, omset yang diperoleh selama tahun 2014 adalah Rp 5 Miliar. Karena telah melebihi batasan Rp 4.8 Miliar, maka pada tahun 2015, Pak Budi menerapkan ketentuan UU PPh untuk menghitung pajak atas usahanya.

Apabila dalam tahun yang bersangkutan, akumulasi omset bruto melebihi Rp 4.8 Miliar, apakah WP tetap menerapkan Pajak UMKM untuk bulan tersebut dan berikutnya?

Apabila dalam tahun yang bersangkutan (WP telah menerapkan Pajak UMKM sejak awal tahun yang bersangkutan), akumulasi omset bruto telah melebihi Rp 4.8 Miliar, maka WP tetap menerapkan Pajak UMKM pada bulan tersebut sampai pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Ketika memasuki tahun depan, WP baru menerapkan ketentuan UU PPh.

Contoh:
Sejak Januari 2014, Pak Budi menerapkan Pajak UMKM. Pada bulan oktober 2014, akumulasi omset bruto dari januari sampai dengan oktober 2014, telah melebihi Rp 4.8 Miliar. Karena tahun yang bersangkutan, Pak Budi menerapkan Pajak UMKM, maka pada bulan Oktober, November, dan Desember 2014, Pak Budi tetap menerapkan Pajak UMKM. Ketika memasuki Januari 2015, Pak Budi baru menerapkan ketentuan UU PPh.

Apabila omset bruto tahun pajak sebelumnya kurang dari 12 bulan, bagaimana penentuan omset bruto sebagai patokan bagi WP untuk menerapkan Pajak UMKM pada tahun yang bersangkutan?

Jumlah omset bruto ditentukan dari jumlah selama tahun pajak sebelumnya, kemudian disetahunkan.

Contoh 1:
Pak Budi memulai usaha minimarket pada bulan Maret 2012. Jumlah omset dari Maret sampai Desember 2012 adalah Rp 3 Miliar. Jumlah omset bruto disetahunkan menjadi Rp 3.6 Miliar (3 Miliar / 10 bulan x 12 bulan). Karena masih berada di bawah Rp 4.8 Miliar, maka pada bulan Juli 2013 (saat berlakunya PP No.46 Tahun 2013), Pak Budi menerapkan Pajak UMKM.
Contoh 2:
Pak Budi memulai usaha minimarket pada bulan Oktober 2013. Jumlah omset dari Oktober sampai Desember 2013 adalah Rp 600.000.000. Jumlah omset bruto disetahunkan menjadi Rp 2.4 Miliar (600.000.000 / 3 bulan x 12 bulan). Karena masih berada di bawah Rp 4.8 Miliar, maka pada bulan Januari 2014, Pak Budi menerapkan Pajak UMKM.

Apabila WP baru memulai usahanya di antara bulan Januari sampai Juni 2013 (bulan sebelum berlakunya PP No.46 Tahun 2013 dalam tahun yang bersangkutan), bagaimana penentuan omset bruto sebagai patokan bagi WP untuk menerapkan Pajak UMKM di bulan Juli 2013?

Jumlah omset bruto ditentukan dari bulan berdirinya usaha sampai Juni 2013, kemudian disetahunkan.

Contoh:
Pak Budi memulai usaha minimarket pada bulan Maret 2013. Jumlah omset bruto dari Maret sampai Juni 2013 adalah Rp 800 Juta. Jumlah omset bruto disetahunkan menjadi Rp 2.4 Miliar (800 Juta / 4 bulan x 12 bulan). Karena masih berada di bawah Rp 4.8 Miliar, maka pada bulan Juli 2013, Pak Budi menerapkan Pajak UMKM.

Apabila WP baru memulai usahanya di atas bulan Juli 2013 (bulan setelah berlakunya PP No.46 Tahun 2013), bagaimana penentuan omset bruto sebagai patokan bagi WP untuk menerapkan Pajak UMKM pada bulan pertama dimulainya usaha?

Jumlah omset bruto ditentukan dari jumlah sebulan pada saat WP memulai usahanya, kemudian disetahunkan.

Contoh:
Pak Budi memulai usaha minimarket pada bulan Maret 2014. Jumlah omset bulan Maret 2014 adalah Rp 300.000.000. Jumlah omset bruto disetahunkan menjadi Rp 3.6 Miliar (300.000.000 x 12 bulan). Karena masih berada di bawah Rp 4.8 Miliar, maka pada bulan Maret 2014, Pak Budi menerapkan Pajak UMKM.

Bagi WP yang menerapkan Pajak UMKM, apakah WP tersebut memperoleh pembebasan pemotongan PPh 21, 23, dan pemungutan PPh 22?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Pajak UMKM adalah pajak yang bersifat final. Oleh karena itu,  atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP (memenuhi kategori Pajak UMKM) yang berdasarkan ketentuan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh 21, 22, atau 23 yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain tersebut.

Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain tersebut diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB).

SKB tersebut diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan WP.

Tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain tersebut akan diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak (akan dijelaskan di post berikutnya).


Khusus WP Badan yang baru beroperasi secara komersial, menerapkan Pajak UMKM atau ketentuan UU PPh?

WP Badan masih menerapkan ketentuan UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial, omset bruto melebihi Rp 4.8 Miliar, maka WP Badan dikenai PPh berdasarkan ketentuan UU PPh untuk tahun pajak berikutnya. Jika tidak, WP Badan dikenai Pajak UMKM.

Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun tersebut melewati Tahun Pajak yang bersangkutan, ketentuan di atas berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial, omset bruto melebihi Rp 4.8 Miliar, maka WP Badan menerapkan ketentuan UU PPh untuk tahun pajak berikutnya. Jika tidak, penentuan apakah WP Badan menggunakan ketentuan UU PPh atau Pajak UMKM didasarkan pada omset setahun dalam tahun yang bersangkutan.

Contoh:
PT A yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai WP Badan di KPP A. PT A menggunakan tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2013, PT A masih terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan kegiatan operasi secara komersial.

Pada tanggal 1 November 2013, PT A mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan. Maka untuk Tahun Pajak 2013, PT A menerapkan ketentuan UU PPh.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial melewati Tahun Pajak yang bersangkutan (sampai 31 Oktober 2014), maka sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014, WP masih menerapkan ketentuan UU PPh.
Dalam hal omset bruto usaha PT A sampai dengan tanggal 31 Oktober 2014 (satu tahun sejak mulai beroperasi komersial) telah melebihi Rp 4.8 Miliar, maka mulai Tahun Pajak 2015, PT A menerapkan ketentuan UU PPh.
Dalam hal omset bruto usaha PT A sampai dengan tanggal 31 Oktober 2014 tidak melebihi Rp 4.8 Miliar, maka pengenaan PPh untuk Tahun Pajak 2015 memperhatikan omset bruto Januari sampai dengan Desember 2014.


Bagi WP Badan dan WPOP yang menyelenggarakan pembukuan serta menerapkan Pajak UMKM, bagaimana perlakuan kompensasi kerugian fiskal (jika ada) dalam perhitungan pajak?

WP yang telah menerapkan Pajak UMKM dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian fiskal hanya dengan penghasilan yang TIDAK dikenai PPh bersifat final / Pajak UMKM. Misalnya penghasilan dari jasa sehubungan pekerjaan bebas, penghasilan dari modal, dan penghasilan lain-lain.

Rugi fiskal yang terjadi sebelum tahun diberlakukannya PP No.46 Tahun 2013 tetap dapat dikompensasikan selama 5 tahun berturut-turut. Misalnya pada tahun 2010, PT A mengalami rugi fiskal. PT A berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal di tahun 2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015.

Apabila pada tahun 2013, PT A menerapkan Pajak UMKM, maka kompensasi kerugian fiskal tetap dapat dilakukan sepanjang untuk komponen omset bruto yang tidak dikenai Pajak UMKM. Batas waktu kompensasi tetap berakhir di tahun 2015.

Kerugian fiskal yang muncul dari pembukuan tahun yang bersangkutan tidak dapat dikompensasikan, selama omset bruto pembukuan tersebut sepenuhnya dikenai Pajak UMKM.


Apakah angsuran PPh Pasal 25, pemotongan PPh Pasal 21 dan 23, dan pemungutan PPh Pasal 22 dapat dikreditkan terhadap PPh terutang bagi WP yang menerapkan Pajak UMKM?

Bagi WP yang menerapkan Pajak UMKM, angsuran PPh Pasal 25, pemotongan PPh Pasal 21 dan 23, dan pemungutan PPh Pasal 22 dapat dikreditkan terhadap PPh terutang atas komponen penghasilan yang tidak bersifat final beserta biaya yang timbul terhadap komponen penghasilan tersebut.



Bagaimana penerapan angsuran PPh Pasal 25 dalam kaitannya dengan penerapan Pajak UMKM?

WP yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak UMKM, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh.

Dalam hal WP selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak UMKM juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan UU PPh, atas penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh.


Contoh:
Mino (status tidak menikah) merupakan pengusaha toko bahan bangunan. Selain menjual bahan bangunan, Mino juga memberikan jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultasi keuangan. Selama tahun 2013 menerima penghasilan sebesar Rp 3.5 Miliar dari toko bahan bangunan, Rp 900 Juta dari jasa pelaksanaan konstruksi, dan Rp 500 Juta dari jasa konsultasi keuangan. Jumlah omset bruto keseluruhan pada tahun 2014 adalah Rp 4.9 Miliar.
Untuk menentukan penerapan PPh dari usaha Mino di tahun 2014 apakah menerapkan Pajak UMKM atau ketentuan UU PPh adalah berdasarkan omset bruto toko bahan bangunan saja sebesar Rp 3.5 Miliar. Omset bruto dari jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultasi keuangan tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan konstruksi telah dikenai PPh yang bersifat final dan jasa konsultasi termasuk dalam lingkup jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Karena omset bruto toko bahan bangunan kurang dari Rp 4.8 Miliar, maka Mino menerapkan Pajak UMKM atas penghasilan dari toko bahan bangunan.
Oleh karena itu, kewajiban pajak Mino di tahun 2014 adalah :
  • Pajak UMKM sebesar 1% bersifat final dari omset bruto usaha toko bahan bangunan untuk setiap bulannya.
  • PPh dari usaha jasa konstruksi yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri.
  • Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d Desember), atas penghasilan dari jasa konsultasi. Misalkan pada tahun 2013, biaya operasional untuk jasa konsultasi sebesar Rp 175,700,000 dan PPh 21 yang telah dipotong pihak lain sebesar Rp 15,000,000, maka kewajiban angsuran PPh 25 di tahun 2014 sebagai berikut:
Omset bruto jasa konsultasi 2013         500,000,000
Biaya terkait jasa konsultasi 2013         175,700,000
Laba bersih jasa konsultasi 2013         324,300,000
Penghasilan tidak kena pajak (TK/0)           24,300,000
Penghasilan kena Pajak         300,000,000


PPh terutang jasa konsultasi 2013 berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh           45,000,000
PPh dipungut/dipotong pihak lain           15,000,000
PPh yang dibayar sendiri           30,000,000


Angsuran PPh 25 jasa konsultasi (1/12 x 30.000.000)             2,500,000

Apabila pada tahun pajak berikutnya, WP telah mengganti penerapan dari Pajak UMKM menjadi ketentuan UU PPh karena pada tahun pajak yang bersangkutan, omset telah melebihi Rp 4.8 Miliar, bagaimana penerapan angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya?

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya ditentukan sebagai berikut:
  1. Bagi WP sebagaimana yang dimaksud Pasal 25 ayat 7 huruf b dan c UU PPh (contoh: Bank, BUMN, BUMD, WP masuk bursa, dan WPOP pengusaha tertentu), besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur dalam PMK yang mengatur perlakuan perhitungan angsuran pajak. (Per tanggal 30-9-2013, perhitungan angsuran atas kasus ini masih menggunakan PMK No.255/PMK.03/2008 dan akan dijelaskan dalam post berikutnya)
  2. Bagi WP selain yang disebutkan dalam nomor 1, perhitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti WP baru. (Perhitungan angsuran pajak untuk WP baru juga dijelaskan dalam PMK No.255/PMK.03/2008 dan akan dijelaskan dalam post berikutnya).



Bagaimana kewajiban penyampaian pajak tahunan atas WP yang menerapkan Pajak UMKM?

WP yang seluruh atau sebagian penghasilannya menerapkan Pajak UMKM, kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sesuai ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.16 Tahun 2009, dan peraturan pelaksanaan beserta perubahannya.

Bagi WP yang menerapkan Pajak UMKM, kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi dengan komponen penghasilan yang tidak dikenai PPh bersifat final / Pajak UMKM pada tahun berikutnya selama masa 5 tahun. WP yang melakukan kompensasi kerugian, wajib melampirkan laporan laba rugi bulan Januari 2013 sampai Juni 2013 dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 2013.

Ketentuan mengenai pelaporan SPT Tahunan Pajak UMKM akan diuraikan dalam materi "Pelaporan Pajak UMKM".


Peraturan-Peraturan terkait atas materi ini :
  • UU No.36 Tahun 2008
  • PP No.46 Tahun 2013
  • PMK No.107/PMK.011/2013
  • PER No.24/PJ/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar